Sudah lama rasanya, jari-jari ini tidak mengetikkan sesuatu. Terkadang ketika usai membaca suatu buku yang menginspirasi maka jari inipun ingin juga menari di atas keyboard. Hm, kali ini saya ingin menulis tentang pembelajaran cinta dari para sahabat. Saya sangat trenyuh membaca kisah ini dari sebuah buku karya salah seorang penulis favorit saya. Kisah mengenai sebuah kesadaran bahwa sesungguhnya kita memang tak pernah memiliki apa-apa di dunia ini, namun terkadang kita sulit untuk menyadarinya. Mari kita simak kisah tersebut.
Alkisah dalam buku karangan pak Salim A. fillah, jalan cinta para pejuang diceritakan mengenai kisah Salman Al farisi. Salman telah memasuki masa untuk menikah, sebagai manusia normal, ada seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih melainkan sebagai sebuah pilihan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat dan sebuah pilihan menurut perasaan yang halus serta kesucian ruh.
Tapi, sebagai seorang pendatang hal itu merupakan hal yang terasa asing. Madinah memiliki adat istiadat, rasa bahasa dan rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Sehingga Salman berfikir harus ada seseorang yang akrab dengan trdisi madinah untuk berbicara dalam khitbahnya, maka Beliaupun menyampaikan maksud hati tersebut kepada sahabat yang dipersaudarakan dengannya yaitu Abud Darda’. Niat itupun disambut baik dengan hamdalah dan kegembiaraan oleh Abud darda’.
“Subahanallah wal hamdulillah” ucap Abud darda’ girang. Dan merekapun berpelukan dan tersenyum bahagia. Maka setelah persiapan dirasa cukup beriringlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah, rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
“Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan islam dan dia juga telah memuliakan islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya” fasih Abud Darda’ berbicara dalam logat Bani najjar yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan kepada puteri kami” Tuan rumah memberi isyarat kearah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
“Maafkanlah kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang berbicara mewakili puterinya. “tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar dari pada pelamar. Hal ini mengejutkan dan ironis. Tapi keindahan dapat ditangkap dari reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Maka Salman pun berbicara , “Allahu Akbar!” seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi skasi pernikahan kalian!”
Subhanallah, inilah kehidupan Agung para sahabat mulia yang memiliki kesadaran tinggi di tengah perasaan yang berkecamuk menjadi satu, malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar, dan seterusnya. Dan kisah ini mengajrkan bahwa sejatinya bahwa cinta tak harus memiliki karena sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Seperti layaknya seorang tukang parkir yang hanya dititipi oleh sang pemilik kendaraan.
Kisah ini mengingatkan saya pada seorang sahabat yang pernah bercerita tentang kisahnya ketika jatuh cinta pada seorang senior yang begitu diidolakannya, baik, tampan dan sholeh menurut ceritanya hingga akhirnya orang itu menikah dengan seorang teman seangkatan yang juga senior dari teman saya itu. Betapa menyedihkan dan menyakitkan pastinya, hingga iapun tak kuasa membendung air mata. Hm, begitulah rupanya saat cinta bertepuk sebelah tangan maka ia takkan pernah berbunyi. Dan sayapun mengiyakan ungkapan ustadz Anis Matta dalam buku ‘serial cinta’ menuliskan bahwa Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup maka cinta harus diakhiri. Hanya di sana cinta absah untuk tumbuh bersemi, di singgasana pelaminan. Subahanallah begitulah islam mengajarkan cinta, fitrah yang suci yang tak layak dinodai. Hm, dan sebagai manusia yang dikaruniai fitrah itu maka sudah selayaknya kita mengemasnya secara apik agar ia tumbuh dan tertuju pada sasaran yang tepat. Mencintai adalah fitrah, maka saya pun kembali teringat ungkapan Sahabat Rasulullah yang mulia Ali bin Abi Thalib saat Fatimah puteri Rasulullah mengisi tempat yang special di hatinya. Maka saat Abu Bakr datang meminang Fathimah, Ali berucap, “Inilah persaudaraan dan cinta, Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan fathimah atas cintaku”. Maka di sini Ust. Salim A. Fillah menuliskan bahwa cinta tak pernah meminta untuk menanti, seperti ‘Ali, Ia mempersilakan atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan dan yang kedua adalah keberanian.
Ada banyak ibrah dari kisah para sahabat, pun dalam hal cinta. Mencintai dicintai fitrah manusia seperti petikan lirik lagu the fikr.
Dalam cinta, ujian terberat adalah saat penantian ataupun saat proses menuju pernikahan. Bagi yang akan menuju proses pernikahan maka harus lebih memperbanyak kedekatan denganNya, menjaga niat dan sabar karena seringkali yang menjadi ujian adalah keragu-raguan yang dibuat oleh syetan. sedangkan bagi yang berada dalam masa menanti atau mencari harus banyak hal yang dipersiapkan baik fisik, keilmuan maupun ruhiyah. Karena wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik dan begitupun sebaliknya wanita yang buruk hanya untuk pria yang buruk, maka jangan berharap calon istri sekaliber fathimah jika tidak belajar menjadi lelaki sekaliber ‘Ali. Maka jangan berharap pendamping yang sholih jika tak berusaha menjadi sholihah. Aha!! Mengenai ini saya teringat kembali ucapan Ust. Salim dalam seminar remaja tentang cinta di graha ITS 2 tahun silam, di akhir sesi beliau berpesan : Jadilah wanita-wanita berintegritas yang kepadanya bidadari kan cemburu dan jadilah pria-pria berprinsip yang kepadanya bidadari kan merindu…alangkah manisnya, dan saya kembali teringat pula dengan buku Afifah Afra yang saya pinjam dari seorang kawan, “Nikah itu tak mudah” yang mengajari kita bahwa pernikahan bukanlah hal yang indah-indah saja, maka dalam memilih pasangan janganlah melihat dari kelebihan-kelebihannya karena kita kan kecewa saat menemukan kekurangannya, namun marilah kita melihat kekurangannya agar tumbuh keikhlasan dalam penerimaan. Subhanallah, indahnya Islam yang mengajari tentang cinta, tentang keikhlasan, pengorbanan, persaudaraan dan kesadaran bahwa kita bukan apa-apa dan hanya kepadaNya segalanya disandarkan karena hanya Dialah yang Maha memiliki. Belajar dari shirah, belajar jutaan keteladanan untuk jadi kian baik..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar