Senin, 02 Mei 2011

Rahasia Tarisa


Pagi yang cukup cerah, tapi  udara masih terasa dingin oleh kabut yang enggan pergi meski mentari kian naik. Suasana kelas masih sepi, hanya derap langkahku yang terdengar pelan. Kuletakkan tasku di deretan bangku nomor dua. Sengaja kupilih karena sangat strategis pada saat ulangan. Terutama pada jam kimia. Pak Marwoto guru kimia yang terkenal killer selalu saja memperhatikan jawaban para makhluk yang duduk di deretan depan dan mengomentarinya dengan pedas. Seperti suatu ketika ulangan bab hidrokarbon. Dia tertawa dengan pekerjaan Dion yang tidak bisa menyelesaikan reaksi subtitusi dan eliminasi. Dan Pak Marwoto pun memperoloknya. Kontan saja Dion langsung keok dan kapok duduk di depan. Memang sih Dion tergolong siswa grade bawah di kelas tapi bukan begitu caranya. Aku menngerutu sendiri.
Sejak itu tiap kali ulangan para jawara kelaslah yang mengalah duduk  di deretan kursi panas itu. Tap...tap langkah kaki terdengar memasuki kelas. Reflek aku mendongak sambil tersenyunm. Sosok Tarisa , gadis berkacamata minus itu menyembul. Dia membalas senyumku. Manis dengan lesung pipit di pipinya. Ditaruhnya tas alto miliknya di bangku pojok depan, maklumlah dia salah satu jawara kelas.
Tak terlalu kuhiraukan dia, sosoknya yang menurutku sedikit angkuh dan pendiam membuat penghuni kelas agak malas padanya. Sebelum tenggelam dengan buku kimiaku, kulirik dia yang tengah berkutat dengan buku kimia pula. Huh,  kuakui dia memang rajin dan pandai hampir dalam semua mata pelajaran kecuali olahraga. Hening. Tapi tak lama kemudian penghuni yang lain berdatangan dengan berbagai tampang. Ada yang emang udah pembawaanya nyantai jadi walau bumi berguncangpun tetap nyantai, ada yang terlihat stres dengan wajah yang masih mengantuk karena wayangan tapi ada pula yang datang langsung menggerutu tanpa sebab. Dasar II-4 tetap saja tak berubah. Aneh.
Bel berbunyi. Huuuuuuuuuuuuuuu.....!!! kompak seisi kelas berkoor, bukan karena ulangan kimia akan segera dimulai tapi karena tampang kucel Roy yang menyembul sambil menirukan gaya bintang indonesian idol yamg disusul gelak tawa dan lemparan kertas.
” Pagi semua” Pak killer masuk dengan setumpuk soal ulangan.
”Pagi juga pak” balas penghuni kelas nakal.
”Silakan absen bawah keluar” katanya seraya berdiri dan membagikan soal.
Hening, ketika soal menyebar ke pelosok kelas. Yang nekat pingin diskors jam kimia satu semester aja yang berani bersuara plus contek-contekan. Tapi lumayan juga aku jadi bisa mengejar target tanpa harus ditanya jawaban seperti pada ulangan mata pelajaran lain. Segera kukerjakan soal yang minta ampun sulitnya itu hingga tiga puluh menit bersama Pak Marwoto berakhir.
***
Kulipat kertas ulanganku. Seperti perkiraan, hari ini kimiaku dapat delapan lima. Aku menoleh ke bangku Tarisa, kosong. Segera kudekati Joan yang duduk sendiri. ”Hai jo, tarisa mana? Tumben nggak masuk?”
”Iya Da katanya lagi sakit. Darah tingginya kumat”
”Ha! Darah tinggi? Pantesan kebanyakan belajar dan mikir buat masa depan pasti” aku berkomentar asal.
”Tau lah, orang seserius dia emang begitu anak yang introvert. Aku sendiri tak tau apa-apa tentangnya padahal teman sebangku.” suaranya terdengar kesal
“O…hm, giman ulanganmu? Dan…liat nilai si pinter itu donk!”
“Nih, liat sendiri!” dia menyodorkan dua lembar kertas.
“Wah, hebat! Kamu dapat delapan, tapi tumben si Tarisa Cuma dapat tujuh” dahiku berkerut.
“Aku juga heran, biasanya nilai minimal yang dia dapat selalu 85”
Ya udahlah mungkin lagi males belajar dia. Aku segera kembali ke bangku. Aneh pikirku. Ya... Bu Tanti udah masuk! Aku manyun.
 Guru yang mengajar pada satu titik itu masuk, di belakangku terdengar anak-anak juga ngedumel. Bukannya kami benci tapi selama jam pelajaran berlangsung hanya Tarisa yang diajak berdiskusi dan disuruh memberikan pendapat. Jadi serasa kami patung yang mendengarkan Bu Tanti ngelesi Tarisa privat. Tak heran jika ada yang membawa komik tiap selasa, ada juga yang ngerjain tugas jam selanjutnya bahkan ada yang sms-an dengan sang doi di kelas sebelah. Bete... aku berharap pelajaran ini segera usai.
“Ya, coba sekarang jelaskan tentang siklus krebs. Tarisa gambarkan skemanya di depan” Bu Tanti membetulkan letak kacamatanya.
“Nggak masuk Bu.......” koor seisi kelas bak anak TK.
”Kemana? Oh sakit, dia mengambil surat ijin tarisa. Kalau begitu cuba sekarang maju ke depan si pojok” ditunjuknya Roy.
”Delon maju..” teriak Saiful melawak.
”Ya. Delon kamu maju” Bu Tanti menirukan.
Grrrr...Sekelas tertawa, gara-gara gayanya yang menirukan bintang idol itu Roy dijuluki si Delon. Dengan gayanya yang cengar-cengir tapi sok COOLangajal Dia maju. Aku geleng-geleng menahan tawa sampai perutku sakit. Dasar Roy bisa nggak bisa tetep aja PD.
***
Bruk..!!! Kurebahkan badanku ke kasur. Kupejamkan mataku untuk mengusir penat. Ngantuk yang kurasakan saat ini. Tak peduli belum ganti baju aku mulai tidur.
Dinda….ada temenmu. Mama menggoyangkan tubuhku. Dinda bangun, anak ini susah amat dibangunkan. He..., kebiasaan juga pulang sekolah bukannya ganti baju cuci kaki tangan, makan, terus tidur, ini malah sudah ngorok. Ayo bangun! Mama menarikku.
“A... iya ma.. ngantuk banget nih!” aku ngeloyor ke kamar mandi cuci muka.
“Cepetan ...kasihan temennya dah nunggu tu!”?
Tak kuhiraukan suara mama yang terus memarahiku sambil keluar kamar. Siapa sih jam segini nyariin orang tidur. Kusiramkan air pada mukaku. Cepat-cepat aku keluar kamar menuju ruang tamu. Setengah kaget aku tak percaya. Tarisa, ada apa jam segini dia ke sini bukannya dia lagi sakit.
”Sorry Nda aku ganggu istirahatmu” katanya memelas”
”Nggak kok aku berbohong” ternyata sadar juga ya. Hee..
”Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu. Boleh pinjam kamar mu nggak? Kita ngomong di sana”
Aku garu-garuk kelapa eh kepala yang tak gatal lalu mengangguk dan kami beranjak ke kamarku. Aku heran juga nggak biasanya ni anak main ke rumah orang. Biasanya kan disekap di kamar belajar terus. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal lagi. ”Duduk...” kataku mempersilakan.
”Dinda..” dia membuka pembicaraan. Aku diam sambil memperhatikannya.
”Akhir-akhir ini aku nggak tenang. Aku selalu dahantui perasaan bersalah pada kalian semua. Maksudku penghuni II-4”
Aku mengangkat alis tak mengerti tapi aku hanya diam membiarkan dia bercerita.
”Aku merasa tertekan dengan semua ini. Aku merasa menjadi orang yang paling buruk di dunia bahkan terkadang aku menyesali mengapa harus terlahir di dunia” nadanya penuh kebencian.
”Nggak boleh begitu Taris...” kugenggam tangannya. ”sekarang tumpahkan saja kesah dalam hatimu, aku siap mendengarkan” aku tersenyum padanya.
”Makasih, itulah kenapa aku kesini karena hanya kamu yang aku percaya selama ini, ya, walaupun aku cuek banget.”
”Aku malu Nda pada diriku, aku sebenarnya bukan orang yang istimewa tapi keluargaku yang menuntutku demikian. Terutama ayahku, Pak Marwoto yang kalian bilang killer itu. Dan memang begitulah ayahku. Apa-apa selalu dituntut untuk perfect terutama masalah akademis. Aku tak dibiarkannya berusaha sesuai keinginan dan kemampuanku”
”Maksudmu?”
”Berbagai hal Nda yang dilakukan ayah agar nilaiku bagus” suaranya meradang. ”Aku malu, karena setiap akan ulangan ayahku selalu mendatangi rumah guru lain untuk memberikanku les privet,  bukan privat mengulang soal atau materi tapi soal yang akan keluar di ulangan” dia menangis.
”Karena itu aku selalu dapat nilai sempurna dan diperhatikan guru. Karena ayah yang dianggap senior di sekolah. Selain itu aku merasa terkungkug karena harus berkutat dengan buku setiap hari. Nggak boleh keluar rumah dengan alasan yang tidak jelas. Aku harus menjadi The Best agar bisa masuk universitas favorite agar Ayah tak malu di depan guru lain katanya ” Dia mengiba.
”Tapi, bukannya ayahmu yang selalu menyemangati muridnya  kerja keras?”
” Iya tapi semuanya bohong Nda, aku benci dan malu punya ayah seperti dia. Ditambah hari ini nilaiku kimia jeblok. Seharian aku tak boleh ke sekolah, aku dimarahi habis-habisan. Katanya aku harus belajar dan hari ini nggak ada ulangan jadi nggak usah masuk.”dia sesenggukan. ”Yang paling parah Ayah selalu ngopy soal ulangan guru lain di ruang komputer kantor ketika sore. Wajar aja nggak ada yang curiga karena ayahku dianggap senior dan memang komputernya juga terbatas jadi ayah tahu persis dimana filenya disimpan.
Aku semakin bingung. Nggak masuk akal. Sebegitukah sosok guru yang sangat kuhormati itu? Penuh dengan kebusukan. Batinku bergemuruh kesal. Ingin memakinya tapi yang kuhadapi saat ini tarisa.
”Jadi, ini jugakah yang membuatmu begitu tertutup dan terkesan angkuh?”
”Hm...” dia mengangguk Aku malu...malu sekali dia tertunduk. Aku memeluknya seolah memberi kekuatan.
”Ya udah Taris, sekarang kamu harus membangun kepercayaan diri dan tunjukin kalo kamu memang bener-nener bisa tanpa harus ditekan dan mengikuti kecurangan ayahmu. Dan cobalah untuk membuktikan bahwa kamu bukan anak kecil, kamu gadis SMA yang berhak mengecap kemerdekaan sebagai anak. Tunjukkan Taris...aku yakin suatu saat ayahmu mengerti dan... ”aku ragu. ”Aku akan meminta bantuan teman-teman yang laen, pasti mereka mau.”
”Benarkah? Makasih Nda” dia memelukku erat sambil menyeka air mata.
”Jangan salah, penghuni II-4 tak seburuk yang kau bayangkan, hanya sikapmu saja yang menciptakan image buruk pada mereka. Mereka sering bilang begitu kok padaku.”
Senyumnya mulai terkembang.
”Tapi, ada satu hal lagi. Kamu harus merubah image penghuni II-4. Jadilah dirimu sendiri. Tarisa yang nggak  super introvert plus cuek bebek. Ok!”
 Sore itu angin berembus melalui celah jendela. Semilir dan menyejukkan. Kutatap sekali lagi wajah Tarisa, yah, semoga saja kamu berhasil Taris. Akan kubantu dengan doa dan tentunya akan ada aksi yang membuat segalanya  berubah. Aku tersenyum kecut teringat sosok Pak marwoto dengan uban dan kacamat minusnya.
***
Badai mulai berakhir, itulah yang terjadi saat ini. Gerombolan anak II-4 dalam aksi rahasianya yang mendekati para guru untuk menyadarkan Pak Marwoto berhasil walau agak berbelit-belit dengan berbagai alasan tak masuk akal dari pihak guru. Tapi, Pak Marwoto sadar juga dengan kesalahannya selama ini.
Dan Tarisa dia sudah dapat menerima kehadiran makhluk di sekelilingnya dan tentu diterima pula sebagai Tarisa yang periang dan cerdas. Sebenarnya dia memang cerdas seandainya Pak Marwoto tak melakukan kecurangan dan membuang banyak uang itu.
H...h.... aku menarik napas. Lega juga dapat membantu Tarisa.
”Pagi Semua...” Pak marwoto masuk.
”Ups” seisi kelas kaget.
”Pagi Pak...” terdengar  datar. Ada rasa sungkan dari nada sapaan kali ini.
”Sekarang buka bab karbohidrat, lemak dan minyak”. Suara Pak Marwoto terdengar ramah. ”Lo? Kok tegang semua? Lupa ya dengan 3S yang saya berikan dulu” dipandangnya seisi kelas.
”Serius, santai, sukses.....” jawab kami serempak sambil tersenyum.
Pak Marwoto tersenyum hangat seolah ingin mengabari seisi kelas bahwa yang berdiri sekarang adalah Pak marwoto yang baru. Karena tahunnya juga baru mungkin.
Ada kelegaan di hati penghuni II-4 dan dengan serunya pelajaran kimia kali ini berlangsung. Sesekali terdengar gelak tawa, tapi tetap tak mengurangi prinsip kedisiplinan yang diterapkan Pak Marwoto.Angin semilir berhembus dari jendela yang terbuka. Kicau burung gereja yang bersarang di celah atap kelas terdengar riang seolah ingin mengabarkan bahwa pak marwoto telah berubah sebagai sosok yang benar-benar mengagumkan.

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar