Senin, 02 Mei 2011

Roy


Siang begitu gerah, mentari rupanya enggan untuk sekedar berteduh di balik awan. Sesekali pemuda itu menyeka keringat yang sedari tadi mengucur di dahinya. Sembari mendesah karena kakinya tak jua menemukan pijakan. benar-benar pengorbanan. Pikirnya. Pasalnya, sedari pagi berdiri mondar-mandir di trotoar terminal. Jualan Koran, kerjaan barunya, kalo nggak gitu ngamen. Lumayan bisa buat mengganjal perut yang terus berteriak tak karuhan.
            “Roy!!!” Sebuah suara memanggil. Reflek kepalanya menoleh.
            Bang Jon, ketua asosiasi pengamen melambaikan tangan sembari berlari kecil ke arahnya.
            “Lo dicari tarmo! Nggak tau kenapa. Cepetan siapa tau ada orderan baru.” ujarnya dengan napas tersengal-sengal.
            Tanpa pikir dua kali Roy segera beranjak dari hadapan pria gondrong itu. Dua menit ia dapat menemukan sosok Tarmo, pria jangkung kurus dengan sedikit tato di lengannya.
            “Ada apa bang, nyari aku?”
            “Gua ada bisnis ni sama lo! Lo mau nggak?” sergahnya.
            “bisnis apaan bang?”
            “Lo mau kagak? Kalo iya ntar gue kasih tau. Kita ketemu di warteg mak Ijah. Ok man!”
Sedikit ragu, Roy menerima uluran tangan Tarmo. Masih dengan sedikit kebingungan, tak disadarinya tarmo yang telah beranjak dari hadapannya.
            “Ngomong apa Dia” Bang Jon menepuk pundak Roy.
            “kagak tau tu bang, aneh! Ngajakin bisnis tapi kagak jelas mo bisnis apa’an. Aku diajak ketemuan di Warteg Mak Ijah malam ini.
            “Gue bukannaya mau ikut campur ni Roy, tapi gue minta lo ati-ati sama Bang Tarmo. Semua orang tau siapa Dia. Walaupon gua bajingan tapi gue kasiahn kalo lo ikutan yang nggak bener, udah tong tetep ngamen aja dari pada bisnis kagak jelas. Ingat jangan sampai urusan ame polisi. Bisa berabe! Kasihan emak lo yang udah tua.” Bang jon berkata panjang lebar. Ditepuk-tepuknya pundak Roy semabari berlalu menuju bus kota yang baru hendak berangkat.
                                                            ***
            Malam itu sesuai kesepakatan Roy menunggu Bang Tarmo di warung Mak Ijah. Sepuluh menit menunggu sambil mencomot pisang goren buatan mak ijah, bang Tarmo datang.
            “gua kira lo nggak datang Roy. Bagus!”Tarmo duduk di sebelah Roy.”
            “Maaf Bang aku nggak bisa lama-lama, tadi mak pesen suruh nyari obat. Asmanya kumat.”
            “santai aja, gini roy, bisnis yang gua tawarin ame lo tu bukan bisnis biasa jadi perlu pembicaraan empat mata”. Ujar tarmo sembari menirukan gaya tukul.
            “Emang apaan sih bang? Bikin penasaran.”
            “pokoknya dijamin menghsilkan omset lumayan dah, apalagi buat biaya mak lo yang sakit. Lu bialng tiap bulan harus keluar ratusan ribu.” Tarmo masih dengan gaya cengengesan.
            “Sini lo roy” Dibisikkannya telinga kanan Roy.
            Hampir saja roy terlonjak. Persis seperti dugaannya.”ma…ap bang kayaknya aye kagak bisa kalo yang satu ini.”katanya gugup.
            “Lo serius roy? Nggak mau terima tawaran gue? Tapi jangan nyesel ya, gue dah bermaksud baik tapi kalo lo nggak mau ya nggak apa-apa.
Masih dengan bimbang Roy berfikir keras antara setuju dan menolak. Satu persatu wajah Emak, bang jon berputar dalam memorinya. Dengan sangat gugup dan takut pada tarmo yang terkenal sebagai Bos preman terminal tempatnya mengais rizki. Lama dia tercenung sementara tarmo dengan gaya Bosnya memilin ujung Rambut gondrongnya.
            “Bang…aku…aku nggak berani bang. Sumpah. Aku memang perlu duit. Tapi tolong, jangan paksa ya bang ya? Tolong bang!” wajah Roy memelas.
            Sebenarnya jika tak ingat nasehat emak dan pesan bang Jon serta tak ada sebiji iman di dadanya mungkin Roy akan menerima tawaran bang tarmo karna saat ini dia sangat perlu uang. Ya uang.. semenjak bapaknya pergi, hidupnya dan mak semakin menggelandang. Emak setiap hari menjadi pemulung sampah sedangkan Dia ngamen kesana kemari sambil jualan Koran itupun belum tentu laku semua, pasalnya minat baca masyarakat masih sangat buruk dan prinsip ekonominya begitu ketat
            “Maapin ya bang, aku nggak bisa ikut bisnis abang .“
Dengan wajah kecewa yang tertahan Tarmo beranjak. “Oke deh kagak apa-apa! Tapi ingat Roy, kesempatan Cuma sekali. Lo tau itu. Gua masih kasih elu kesempatan sehari buat ngasih pertimbangan. Gue cabut Roy!!”
            “Iya Bang, ma..apin saya bang”.
Roy masih duduk di warung mak Ijah. Kebingungan benar-benar menghimptnya. Antara menerima dan menolak tawaran si bos preman, antara rasa iba pada emak dan pesan bang Jon.
            ”Mas Roy, kok melamun?” suara jawa mak Ijah membuyarkan angannya.
            ”Ah, enggak mak, Cuma agak pusing. Ya udah mak, saya pulang dulu.”
            ”monggo mas!” roy beranjak menuju rumahnya. Pemuda delapan belas tahun itu terlihat begitu tua, dengan wajah tirus, kedua bola mata cekung dan bibir yang menghitam . maklumlah, karena dia satu-satunya harapan sang emak yang sakit-sakitan dan kedua adiknya yang masih SD dan SMP.                               
                                                            ***
            “Ingat Roy, kalo gadis ini keluar dari sekolahnya elu, topan sama panji harus bergerak. Gue sama ponco nanti njemput kalian.
            Roy mengangguk. Tak ada pilihan! Semalam asma emak parah sampai-sampai pak kadir, tetangga kontrakan membawanya ke rumah sakit. Hatinya benar-benar tak kuasa dengan penderitaan emak.Dalam pikirannya saat ini hanya uang dan emaknya yang tengah terbaring tak berdaya. Emak harus sembuh! Apapun caranya, karna hanya emak yang ia miliki saat ini.
            ”Ayo Roy, cepat...!”ketiga pemuda itu segera menyergap seorang gadis SMP dan berlari menuju jeep hitam milik Tarmo.
            Roy masih mersakan getar takut itu, yah sebuah konspirasi penculikan putri Arman Sanjaya, pengusaha minyak sukses.
            Dipandanginya wajah gadis dihadapannya, ia ingat Ratri, adiknya yang hampir lulus SMP. ”Hh...seandainya aku tak terpaksa, pasti ini tak kan terjadi. Maafkan aku gadis manis.” roy berdiri dari kursinya. Malam ini waktu ia berjaga. Dua termannya telah lelap dalam mimpi.
            ”Mak, bagaimana nasibmu saat ini? Aku ingin berada di sisimu mak, menemanimu dalam kesenyapan rumah sakit. Tuhan, tolong sembuhkan emak” Desisnya pelan. Bulir beningpun tak kuasa menetes di sudut mata elangnya.
                                                            ***
”Emak, emak sudah sembuh?” pekik Roy tertahan. Didekatinya wanita paruh baya yang tengah duduk di dipan.
”Roy, anak emak, kau tak lupa dengan ajaran emak kan?” wanita itu memandangnya tajam.
Roy tertunduk.
”Kau tahu nak, emak tak ingin kau jadi manusia perusak, perampas kesenangan orang, pemisah anak dengan orang tuanya...hanya, hanya karena uang yang tak halal Roy. Kau ingat ajaran emak, bukan?”
”Mak, maafkan Roy, tapi Roy sayang sama emak dan Roy tak ingin melihat emak menderita” Roy tergugu.
”Kau bilang sayang pada emak, padahal kau menjerumuskan emak dengan nafkah tak halal yang kau berikan? Cukup Roy, tolong emak. Emak tak sanggup memikul tanggung jawab di hadapan Allah kelak. Berat Roy... Anakku, kembalilah nak, mak tak kan apa-apa. Ingat nak, jangan pernah kau buat emak menangis.”Emak menyeka air matanya.
”Makkkk....emak.....”roy menjerit tertahan. Hh...emak. dia terbangun. Keringat dingin membasahi bajunya. Emak, maafkan aku. Tapi aku sudah terlanjur terjun dalam masalah ini. Aku tak mungkin bisa lepas sebelum ini semua selesai.
”Tong...!” suara tarmo mengejutkannya.
”I..iya bang!”jawabnya terbata.
”Cepat lu siapin peralatan. Hari ini pengusaha kaya itu, Arman sanjaya akan menukar anaknya dengan uang. Ha....ha...kita kaya...gue akan kaya....ha..ha...” tarmo tertawa.
Roy masih membisu di tempatnya. Dipandanginya kembali gadis itu. Otakknya berputar mencari ide. Apa yang harus kulakukan Mak!
“Cepetan Roy!”teriak Tarmo.
Roy bergegas menuju gadis kecil itu. Tak tega, tapi segera dipapahnya gadis itu ke dalam mobil.
Dua jam kemudian, pertemuan besar itu terjadi, di sebuah lahan kosong di daerah pinggiran kota.
“Ingat Tuan Arman, jangan coba-coba melanggar kesepakatan. Nyawa putri anda di tangan kami. Haaa.....ha...ha...” klik. Tarjo memutus pembicaraan.
Di sudut lain. Seorang pria keluar dari mobilnya. Dia melangkah dengan tenang. Tania, semoga Allah melindungimu. Desisnya pelan. Pria itu berdiri teapat di depan sedan putihnya.
”Roy, lo keluar. Lu bawa gadis ini, trus lu ambil uang dari tangan si Bos minyak itu. Setelah lu dapat kopor itu lu lemparin ke ponco. Ponco akan siaga di belakang elu. Paham Roy. Ingat ini tugas pertama elu. Kalo kerja lu bagus. Gue jamin hidup lu akan berubah! ”
Roy keluar dari jeep. Dipapahnya gadis tak berdosa disebelahnya. Dia begitu gugup. Dengan sigap dia melangkah.
Untuk beberapa saat kemudian Roy dan Arman sudah berhadapan. Agak jauh di belakang Roy, Ponco dan Topan bersiaga, sementara Tarjo dan Panji menunggu di mobil tak jauh dari tempat Roy berdiri.
Bismillah ucap Roy. Dengan sigap diserahkannya gadis itu. Lalu diambilnya uang dalam koor hitam itu. Namun dia tak segera berbalik ke tempat Tarmo, tapi dia langsung berlari melompat ke dalam mobil Arman Sanjaya yang sengaja dibuka.
”Kurang ajar lo Roy!” tarmo berteriak. bersamaan dengan itu ponco menembakkan pistonya.
Dor...! darah segar keluar lambung kiri Roy tapi Arman Sanjaya berhasil menariknya masuk. Dan secepat kilat sedan itu melaju.
Nguing....nguing. baru saja jeep Tarmo akan berbalik arah tiba tiba polisi telah mengepung dari arah depan dan belakang.
”Kurang ajar! Awas kau Roy” tarmo mencoba berlari tapi sebuah peluru dengan cepat menembus dadanya. Tarmo tersungkur.
***
” Terima kasih Nak.” Arman Sanjaya berdiri di samping Roy yang terbaring.
”Saya yang harusnya berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Bapak. Karena Saya putri bapak diculik” Roy terbata. Tubuhnya begitu lemah. Ia tak tau berapa lama kan bertahan.
”sudahlah Roy tak perlu begitu. Yang penting kau harus kuat, Yakinlah kau akan sembuh” Arman Sanjaya memeluk tangannya erat.
”Emak saya bagaimana Pak?” tanya Roy pelan.
”jangan kuatir, emakmu sudah diatasi dokter spesialis asma. Kondisinya mulai membaik.”
”Syukurlah...Pak, saya bisa minta tolong?”
”katakan Nak”
”Tolong sampaikan maaf saya pada emak. Walaubagaimanapun saya tidak akan melupakan ajaran emak karena saya sangat menyanyanginya melebihi diri saya sendiri” air mata Roy menetes. Seperti menahan rasa sakit yang begitu hebat, tubuh kurus itu meregang kemudian melemah.
”Roy...Roy...” Arman Jaya memegang erat yangan Roy yang tak berdaya lagi.
”Innalillahi wa inna Ilaihi Raji’un. Semoga kau diterima di SisiNya Roy.” Arman Sanjaya mengusap sudut matanya.
”Kau anak yang baik Roy, tapi sayang nasib baik belum berpihak padamu.” Arman ingat ketika tengah malam dia ditelpon seseorang yang ternyata Roy dan Roy jugalah yang menyusun strategi penyelamatan. Kala itu dia begitu gugup dan dia mengaku sedang disuruh membeli minuman oleh anak buah Tarmo sehingga bisa memanfaatkan waktu untuk menelepon Arman. Kebetulan pula dia menemukan nomor Arman di kartu nama yang ada pada tas Tania. Memang dia tak percaya, tapi dia coba ikuti apa yang direncanakan Roy dengan tetap hari-hati.
”Roy, aku akan memenuhi permintaan terkahirmua.” Ucapnya parau.
***
Sore yang mendung. Seorang wanita tua bersama gadis kecil berjongkok di depan sebuah pusara. Gundukan tanah merah di depannya masih basah, sebasah hatinya yng pilu. Tapi ada seulas senyum di sudut hatinya. Roy anak pertamanya telah pergi, tapi kepergian Roy bukan sbagai seorang penjahat seperti yang ia khawatirkan. Pergilah dengan tenang Nak, kau anak berbakti dan  Allah mengambilmu begitu cepat karena Dia tak ingin kau terwarnai oleh warna kehidupan yang semakin kelam dan menjerumuskan.
Ditaburkannya bunga yang ia bawa lantas ia berdo’a dengan khusuk.

                                                               *********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar